Entri Populer

Rabu, 30 Maret 2011

Menguatkan Pengabdian

“Tidaklah kami ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”

Fragmen ayat di atas terasa begitu akrab di telinga kita, hanya saja menjadi sangat asing ketika telah berada dalam tataran aksi di lapangan kehidupan. Begitu juga dengan fragmen doa I’ftitah yang kita baca setiap awal sholat, “Innash sholaati, wa nusuki, wa mayahya, wa mamaati, lillahi Robbil A’lamin,” Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, hanyalah untuk Alloh, penguasa alam semesta. Tidak main-main, sehari 5 kali kita mengikrarkan hal ini, ikrar pengabdian yang begitu dalam, yang menuntut kita selalu berikrar “Sam’aan wa Tho’atan” dengar dan laksanakan terhadap perintah Alloh. Begitu fasih lidah kita mengikrarkan fragmen I’ftitah dalam setiap awal sholat kita, tetapi begitu asing fragmen itu dalam pelaksanaan tata kelola kehidupan sehari-hari kita.

Ketika kita dituntut untuk menjadikan Alloh sebagai acuan, landasan, ruh dari gerak aktivitas kita sehari-hari, maka kemutlakan itu pada gilirannya menuntut kita untuk menggantungkan harapan dan kebaikan hanya pada Alloh semata, bukan pada makhluknya. Ada sebuah cuplikan tulisan dari Salim A. Fillah dalam bukunya Dalam Dekapan Ukhuwah yang sangat berkesan dalam ingatan,

Seorang sahabat berkata padaku, “Aku ingin menikah dengannya, hanya dengannya…”
Aku bertanya mengapa?
“Agar ia menjadi imamku, agar ia membimbingku…”
“Agar ia mengajariku arti ikhlas dan cinta…”
“Agar ia membangunkanku sholat malam…”
“Agar ia membersamaiku dalam santap buka sederhana...”
“Aaah…. Itulah masalahnya,” kataku
Dan dia kini tahu khawatirku benar, bahwa sosok lelaki penyabar yang dia kenal, juga bisa marah, bahkan sering.
Bahwa sosok lelaki shalih yang dia damba, kadang sulit dibangunkan untuk sholat subuh berjamaah.
Bahwa lelaki yang menghafal juz-juz Al Quran itu, tak pernah menyempatkan diri mengajarinya a-ba-ta-tsa…
“Aah… itulah masalahnya”
Semakin mengenali manusia, yang makin akrab bagi kita pastilah aib-aibnya, sedang mengenali Alloh pasti membuat kita mengakrabi kesempurnaannya. Maka gantungkanlah harapan dan segala niat untuk menjadi baik, hanya pada-Nya…. Hanya pada-Nya….
Jadilah ia tali kokoh yang mengantar pada bahagia dan surga….

Ustad Yuswar pernah berkata dalam daurah pernikahan yang sempat kuhadiri, “Pacaran itu saudaraku, hanya berisi kepalsuan-kepalsuan, semua yang manis-manis ketika pacaran itu palsu. Setelah menikahlah semua kebenaran itu terungkap. Maka saudara-saudaraku, bagi kita menikah bukanlah dorongan perasaan sesaat, bagi kita menikah adalah aplikasi ibadah kepada Alloh SWT di lapangan riil kehidupan, wujud pelaksaan tuntutan pengabdian kepada Alloh, dengan niat suci menjaga keberlangsungan agama ini, berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memperbanyak keturunan dan memberikannya pendidikan keislaman terbaik, kaderisasi alamiah. Agar semakin lama jumlah orang sholeh lebih banyak dari yang ingkar, sehingga al bathil akan terdesak oleh al haq. Dalam pernikahan yang didasari beribadah kepada Alloh, maka sudah selayaknya kita menggantungkan harapan, kebaikan, kesempurnaan, hanya kepada Alloh. Selalu sisakan ruang bagi hal-hal tidak ideal yang akan kita temukan dalam diri istri kita, karena sesungguhnya kebaikan istri kita jauh lebih besar dari keburukannya.”

Begitulah, maka implikasi dari menggantungkan harapan hanya kepada Alloh, menuntut kita untuk untuk memberi ruang di hati bagi kesalahan, keburukan, dan ketidak idealan makhluknya yang lain, karena kita juga makhluk yang sunnatullohnya pasti melakukan kesalahan.

Ada syukur dalam tenangnya gelombang, ada sabar dalam lautan membadai, semuanya terangkum dalam satu kata “barokah.” Karena barokahlah yang menjadikan rasa syukur membuncah dalam nikmat, karena barokahlah yang menjadikan jiwa berpeluk mesra saat badai menghadang raga.